Ketika Laut Menjadi Lebih Dekat: Potret ‘Skouw Yambe’ di Tengah Perubahan Iklim

Tampak Kampung Skouw Yambe dari udara.
15 Min Read

Bersama beberapa rekan, saya berkesempatan melakukan studi singkat tentang dampak perubahan iklim terhadap masyarakat adat di wilayah pesisir yang diinsiasi Kowaki Tanah Papua[1]. Kami memilih Kampung Skouw Yambe, di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Provinsi Papua, sebagai lokasi penelitian.

Pada 17 Juni 2025, Setelah makan siang di Koya Barat[2], kami menuju ke beberapa Kampung di Distrik Muara Tami. Perlahan, kendaraan kami menyusuri jalan dari Kampung Skouw Sae dan Skouw Mabo hingga akhirnya tiba di Kampung Skouw Yambe, tepat di depan rumah adat Skouw Yambe (Tangfa). Saat itu, jam menunjukkan pukul dua siang.

Angin meniup sedang menyentuh tubuh kami. Terhampar di hadapan kami lukisan alam yang mempesona, pasir panjang berwarna abu-abu yang secara teratur dihantam gelombang Pasifik. Angin pantai berembus, langit pun cerah, tapi sengatan matahari masih terasa membakar kulit.

Di sana, Skouw Yambe, kami memiliki kesan berbeda-beda. Salah satu rekan tim pertama kali mengunjungi Skouw Yambe pada tahun 2004, ia bercerita, “Waktu pertama kali sa datang, malam hari, rumah-rumah masih jauh ke sana. Belum ada listrik, dan rumah-rumah masih tradisional.” Sambil berbicara, tangannya menunjuk ke arah lautan lepas, seolah membayangkan kembali kenangan itu.

Saya dan rekan lain baru pertama mengunjungi Kampung Skouw Yambe sekitar tahun 2008–2010. Ada juga anggota tim yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini. Kami yang sudah pernah kesana, sepakat bahwa banyak sekali perubahan yang terjadi. Talud pengaman pantai yang kini membentang ratusan meter adalah hal baru. Pohon-pohon kelapa tidak sebanyak dulu, suasana kampung terasa lebih terbuka. Akses jalan masuk pun jauh lebih mudah daripada puluhan tahun silam.

Foto talud pengaman pantai

 

Sambil berdiskusi dan mengabadikan kondisi sekitar dengan foto dan video, kami mengenang kembali memori lama tentang kampung ini. Ingatan itu terkonfirmasi ketika kami bertemu dengan Bapak Jan Hendrik Rollo keesokan harinya, pada 18 Juni 2025.

Jan Hendrik Rollo, seorang pegawai pemerintah Kota Jayapura, dulunya pernah mengupayakan pembangunan kawasan konservasi penyu di Skouw Yambe. Meski kini fokus pada tugasnya di bidang pertanian untuk membantu komunitas mengolah sagu, beliau tetap menjadi saksi hidup perubahan di kampungnya.

“Tahun 1975, saat saya masih sekitar delapan tahun, kami sering bermain di pantai. Garis pantai masih 300 meter dari rumah, bahkan saat air pasang. Sekarang, jaraknya hanya sekitar 50 meter,” ungkapnya, menguatkan dugaan kami tentang perubahan garis pantai.

Dari cerita Bapak Yan Hendrik Rollo dan warga lainnya, kami mengetahui bahwa abrasi pantai tidak hanya mengubah struktur pantai, tetapi juga menghilangkan banyak tumbuhan pesisir. Dulu, kampung ini dipagari oleh pohon kelapa, pandan pantai, bintanggur, kasuari, sukun, hingga kayu besi. Kini, sebagian besar vegetasi itu telah hilang, hanya menyisakan pohon kelapa, pinang, dan sagu yang berada jauh dari bibir pantai.

Perubahan di Skouw Yambe, yang bahkan tidak disadari banyak orang terutama generasi muda, adalah isyarat nyata. Jarak 300 meter yang kini menyusut menjadi 50 meter adalah indikasi dari kenaikan permukaan air laut, salah satu dampak krusial dari perubahan iklim. Meskipun banjir laut atau gelombang pasang yang merusak belum pernah terjadi, keberadaan talud pengaman pantai menjadi peringatan akan ancaman di masa depan. Perubahan ini juga terlihat dari struktur kampung yang kini bergeser lebih ke daratan, ditandai dengan pembangunan infrastruktur baru seperti jalan, perumahan warga, sekolah SMP dan SMA, serta area perkebunan.

 

Tampak Kampung Skouw Yambe dari udara

 

Talud pengaman pantai dimaksudkan untuk melindungi kampung, proyek tersebut justru menimbulkan ketidakpuasan di kalangan warga. Mereka percaya bahwa laut tidak akan pernah mencelakai kampung mereka, sehingga keberadaan tanggul beton ini malah menyulitkan nelayan untuk memarkir perahu.

Mama Tresia Ramela, yang kami temui di rumahnya pada 6 Juli 2025, mengungkapkan keyakinan itu. “Kami sudah hidup sejak orang tua kami dulu, gelombang laut tidak pernah sampai merusak rumah-rumah,” ujarnya. Namun, ia juga tak memungkiri bahwa garis pantai yang dulu jauh kini sudah semakin mendekat ke permukiman mereka, abrasi dan erosi pun dia akui telah menghilangkan Sebagian wilayah pesisir dan habitat alamiah, salah satu adalah pohon merbau (kayu besi) yang dahulu banyak di pesisir Skouw Yambe.

Seperti mama Tresia, warga Skouw Yambe masih enggan mengakui ancaman yang jelas di depan mata mereka. Meskipun ada fakta-fakta seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, berkurangnya habitat penyu, punahnya tumbuhan pesisir, hingga dampak kesehatan yang dipengaruhi cuaca dan angin kencang, mereka belum sepenuhnya menerima kenyataan akan ancaman perubahan iklim yang nyata dan perlahan.

(Batas Pantai tahun 1975: Tiga ratus meter dari rumah warga/ google earth)

 

Sumber Ekonomi yang kian berkurang

Siapa yang tak kenal “pinang dari Skouw”[3], sebagian besar warga memuji pinang di sini karena kualitas isinya yang tebal, nikmat saat dikunyah dan murah. Tak heran, banyak pedagang rela datang jauh-jauh ke Skouw Yambe untuk membeli langsung dari warga, lalu menjualnya kembali di pasar-pasar tradisional di Kota Jayapura, seperti Youtefa, Entrop, hingga pasar Tanjung Ria. Harga setiap tandan buah pinang bisa mencapai seratus hingga dua ratus ribu rupiah. Naik turun harga pinang biasanya dipengaruhi permintaan pasar dan negosiasi pembeli dari pemilik pohon pinang.

Warga Kampung saat dilakukan Survei

Selain pinang, kelapa juga menjadi andalan ekonomi warga sejak lama. Walaupun pinang era sekarang semakin populer, kelapa tetap menjadi sumber penghasilan utama yang bisa menghasilkan hingga satu juta rupiah per bulan. Kelapa muda dijual untuk minuman, sementara kelapa tua diolah menjadi kopra atau minyak. Polanya ekonomi sama, jika warga tidak membawah ke pasar, para pembeli akan mendatangi pemilik pohon kelapa.

Sayangnya, abrasi pantai perlahan-lahan menggerus wilayah pesisir yang dulu padat dengan pohon kelapa. Dari pengamatan kami, jumlah pohon kelapa kini jauh berkurang dan tak banyak warga yang menanamnya kembali. Usia pohon-pohon yang tersisa terlihat sudah tua, dengan buah yang semakin jarang. Bapak Yan Hendrik Rollo, yang telah menjadi saksi hidup perubahan ini, “Pohon kelapa di pantai ada yang berusia 30-50 tahun. Belum banyak warga berupaya budidaya kelapa untuk menanggulangi abrasi sekaligus menjadi sumber ekonomi jangka panjang.”

Perubahan ini tidak kita pungkiri bahwa terjadi juga oleh faktor-faktor lain. Semakin banyak warga yang memiliki pekerjaan, menempuh pendidikan, atau beraktivitas di luar kampung, membuat mereka secara perlahan meninggalkan profesi sebagai petani kelapa dan pinang. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah nelayan yang terus berkurang. Ini adalah sebuah pergeseran yang tak terhindarkan, dari kampung yang bergantung pada laut dan hasil kebun, kini mulai menyesuaikan diri dengan tuntutan modern.

Survei penelitian Kowaki Tanah Papua 2025

 

Memupuk Kesadaran Bersama Warga

Memupuk kesadaran di tengah masyarakat Skouw Yambe tidak bisa dilakukan dengan pendekatan satu arah. Alih-alih memberikan pemahaman yang benar, justru menyebabkan resistensi warga terhadap kebijakan pemerintah tersebut.

Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan memulai dialog yang setara. Strategi ini harus melibatkan warga secara aktif, dimulai dari pengamatan mereka sendiri. Misalnya, dengan memanfaatkan cerita-cerita warga seperti yang disampaikan Mama Tresia, tentang kisah orang tua mereka di masa lalu yang sangat percaya perindungan dari alam terhadap Kampung mereka, atau cerita Bapak Yan Hendrik Rollo bagaimana warga menanam pohon Kelama dan merawat vegetasi pantai di masa lalu.

Diskusi ini dapat diperkuat dengan data serta alat bantu visual yang konkret, seperti foto udara dari tahun-tahun sebelumnya atau rekaman video yang menunjukkan kondisi pantai secara langsung. Tujuan utamanya bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk membantu warga memahami ancaman global ini. Dengan demikian, masalah ini tidak lagi terasa abstrak, melainkan menjadi bagian dari realitas hidup mereka yang harus dihadapi bersama.

Mencari Solusi di Persimpangan

Bibir pantai Indonesia membentang sepanjang 99.083 km dari Sumatera hingga Papua, mulai menghadapi ancaman dari kenaikan air laut, banjir rob, hingga kekeringan yang mengancam ketahanan pangan nasional.

Di kampung Skouw Yambe, warga masih berdalihmasih jauh dari urgensi keselamatan mereka, namun berbeda dengan beberapa wilayah lain di Papua yang notabennya sudah secara rutin mengalami kondisi banjir rob, banjir laut serta masalah lainnya setiap tahun.

Misalnya kampung-kampung di pesisir kabupaten Merauke yang secara rutin mengalami itu. Pada bulan Mei 2025 saya mengnjungi Kampung Nasem, Distrik Merauke dan menyaksikan banjir yang belum surut, ancaman banjir rob dan banjir laut yang kapan saja datang tergantung musim dan cuaca. Selain itu kampung Urumb Distrik Semangga Merauke yang warganya direlokasi karena gelombang laut pada 1973 silam.

Selama penelitian itu saya menyaksikan bagaimana kondisi kampung-kampung yang rentan dari bencana, dan hanya menaruh harapan kepada program penanaman mangrove oleh berbagai instansi dan Lembaga swadaya masyarakat. Talud pengaman pantai hingga sejauh ini terbatas kepada kawasan-kawasan tertentu yang justru menimbulkan masalah seperti percepatan abrasi di beberapa titik lain.

Kampung Nasem Banjir sudah terjadi selama seminggu/ Foto Yason Ngelia, April 2025

Ketidak merataan bencana dan dampak perubahan iklim di berbagai daerah ini mempangaruhi cara warga memandang masalah. Bukan hanya pada kontesk tanah Papua tetapi juga di seluruh dunia, negara-megra kecil di kepualan Pacifik[4] jauh membutuhkan respon cepat dan kebijakan untuk mencegah kenaiakan air laut yang mengancam negara mereka, berbeda dengan negara di Kawasan Asia dan Amerika yang memiliki daratan luas.

Bagaimana Negara Mengambil Langkah

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan di kancah internasional. Sejak meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, kemudian terus memperkuat kebijakan iklimnya. Salah satu bukti komitmen kuat adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris, yang secara hukum mewajibkan Indonesia untuk berkontribusi pada upaya global menahan kenaikan suhu di bawah 2°C, bahkan diupayakan hingga 1,5°C.

Kebijakan tersebut berjalan, pemerintah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim pada tahun 2008. Dewan ini bertugas mengoordinasikan berbagai upaya mitigasi dan adaptasi, dari tingkat pusat hingga daerah. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa tantangan ini tidak bisa dihadapi sendiri. Indonesia, sebagai negara berkembang, membutuhkan dukungan finansial dan teknologi dari negara-negara maju, seperti yang disepakati dalam Persetujuan Paris, agar transisi menuju ekonomi hijau bisa berjalan adil dan bertahap.

Para ahli dan organisasi di Indonesia sepakat bahwa ada dua langkah utama yang harus kita ambil: menghentikan penyebab masalah dan mulai beradaptasi dengan dampaknya. Mereka mendesak kita untuk segera beralih dari energi kotor. Organisasi seperti Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berpendapat bahwa kita harus berhenti menggunakan batu bara dan beralih ke energi bersih seperti tenaga surya dan angin. IESR bahkan menegaskan bahwa transisi ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga demi menjaga daya saing ekonomi kita di masa depan.

Selain itu, penting juga untuk menjaga ekosistem alam. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menekankan bahwa hutan mangrove dan terumbu karang adalah “tameng alami” kita dari banjir rob. Menjaganya lebih efektif dan hemat biaya daripada membangun infrastruktur buatan. Di sisi lain, para ahli juga mengingatkan kita untuk beradaptasi dengan perubahan yang sudah terjadi. Mereka menyarankan perlunya sistem peringatan dini bencana yang lebih baik dan penanaman jenis tanaman yang lebih tahan cuaca ekstrem. Tujuannya adalah agar kita tetap bisa bertahan dan punya makanan yang cukup meskipun iklim terus berubah.

Mereka Percaya

Meskinpun belum mengalami bencana dasyat dari perubahan iklim, perlahan masyarakat Kampung Skouw Yambe, telah merasakan langsung dampaknya, seperti abrasi pantai dan angin badai yang merusak rumah. Kekhawatiran dan ketidakpuasan terhadap perubahan yang terjadi mendorong mereka untuk mencari solusi. Mereka sangat meyakini bahwa kerja sama antara masyarakat dan pemerintah adalah kunci untuk mencegah dampak buruk di masa depan.

Sebaliknya sosialisasi serius tentang perubahan iklim dan dampaknya masih minim, masyarakat Skouw Yambe tetap teguh pada keyakinan diri mereka sebagai masyarakat lokal yang telah bertahan selama ratusan tahun di tempat yang sama. Dengan pengetahuan leluhur yang diwariskan turun-temurun, mereka percaya mampu bertahan dan mencegah masalah besar. Hal ini tentu dapat diwujudkan dengan kembali pada metode budidaya dan penanaman tumbuhan yang menjadi vegetasi utama di pesisir pantai, seperti kelapa, pandan pantai, bakau, pohon kasuari, bintanggur, dan lain sebagainya. Konsolidasi dan rapat-rapat oleh komunitas adat juga penting untuk membangun kepercayaan diri terhadap pola dan cara leluhur dalam membangun serta mempertahankan kampung dari ancaman lautan selama ini.

Pemerintah adalah institusi yang seharusnya bergerak cepat dalam melakukan pencegahan, terutama dalam membangun kerja sama, sosialisasi, dan mitigasi terhadap ancaman di kampung-kampung pesisir. Minimnya sosialisasi dan mitigasi yang tidak sesuai dengan tradisi serta kebiasaan masyarakat setempat kemungkinan besar akan mendapatkan penolakan dan kritik.

 

***

 

Referensi:

  1. Wawancara Bapak jan Yan Hendrik Rollo
  2. Wawancara mama Tresia Ramela
  3. Wawancara Kepala kampung Skouw Yambe
  4. Melakukan Survei terhadap 70 Responden
  5. Observasi

Link Berita:

  1. https://www.walhi.or.id/menuju-indonesia-2045-krisis-iklim-semakin-memburuk-walhi-ajak-generasi-muda-tempuh-gugatan-iklim
  2. https://iesr.or.id/menyulut-asa-transisi-energi-di-indonesia/
  3. https://iesr.or.id/transisi-energi-bersih-merupakan-prasyarat-pertumbuhan-ekonomi-tinggi-dan-peningkatan-daya-saing-indonesia/
  4. https://www.ykan.or.id/id/publikasi/artikel/siaran-pers/ykan-dan-mitra-teliti-ketahanan-karang-di-tengah-krisis-iklim/

[1] Perkumpulan Kowaki Tanah Papua atau disebut Kowaki adalah sebuah organisasi gerakan lingkungan hidup yang fokus untuk meningkatkan kapasitas dan peran Orang Muda Papua terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua,  kelestarian  ekosistim essensial dan hutan hujan Papua  sertaTransisi Energi Bersih menuju keadilan iklim.

[2] Koya Barat adalah salah satu Kelurahan di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura

[3] Skouw merujuk kepada tiga kampung Seperti Skouw yambe, Skouw Sae, dan Skouw Mabo

[4] https://asumsi.co/post/56487/4-negara-pasifik-ini-terancam-tenggelam-akibat-perubahan-iklim/

Share This Article